Pada suatu malam, setelah aku melahap seluruh hari,
aku mulai memandang bintang dan bertanya-tanya,
bagaimana wujud hari esokku?
Aku menjamah sebuah catatan yang penuh coretan berwarna dari sela-sela buku.
Itulah, di mana aku telah memulainya dari awal.
Sesabit senyum menghiasi wajahku kala warna-warni catatan itu menyapu kedua bola mataku,
dan menghujamku dengan sejuta pita kenangan.
Beberapa saat kemudian, aku mendengar ketukan di pintu kamar.
Ketukannya lembut namun tegas, pertanda sebuah keharusan untukku membukanya.
Aku melangkah mendekat dan membuka pintu.
"Sudah saatnya," kata orang itu sembari memberiku secarik kertas kosong.
Aku mengangguk padanya, berbalik dan melangkah ke meja.
Aku memungut spidol dan pensil warna, tak lupa kuas dan cat-cat.
Sejenak, pandanganku menyapu setumpuk catatan penuh warna itu.
"Tunggulah," kataku. Dan ia mengangguk sabar.
Perlahan, kutenggelamkan diriku sendiri ke dalamnya.
Ke dalam coretan warna gelap-terang di kertas-kertasnya.
Aku membolak-baliknya tanpa diguyur jenuh.
Hatiku masih berharap bahwa aku bisa melanjutkan lukisan dan coretan di sana.
Namun sudah tak ada ruang tersisa.
Aku memandang kertas kosong darinya.
Mataku sayu dan berair.
Cepat atau lambat, aku harus mengisinya.
Melukis, menuangkan berjuta warna.
Beralaskan tekad, aku menghampirinya yang sedari tadi menunggu dengan sabar.
Dengan secarik kertas dan dan alat-alat pewarnanya, aku mengaitkan tanganku padanya.
"Apa kau akan siap?"
"Aku harus."
Dan kaki kami melangkah semakin jauh.
Dengan secarik kertas, aku pergi.
Meninggalkan ribuan ukir memori.
Aku pergi, bersama
seseorang dengan secarik kertas.