Selasa, 05 Agustus 2014

Bendera Hitam

Tiap detik tenggelam di dasar samudera
Topan adalah pembimbingnya, menuju sepoy yang lebih bersahaja
Moncong-moncong musket tak pernah membuat bendera hitam berhenti berkibar
Walau kebebasan itu sudah termakan cuaca, tapi asa masih menyala-nyala
Bergelas-gelas rum yang berharga, mengalir bak sungai
Menghiasi canda tawa dan sendawa
Para awak bersatu di atas peta dan harta
Sail ho!
Layar digelar
Amunisi terisi
Sail ho!
Kelasi-kelasi siap mati menghunus pedang dan belati
Geladak sesak akan ambisi
Karena keraguan telah hanyut di lautan
Meski kelak diganjar gantungan

Selasa, 24 Juni 2014

City Dump

She's a little girl, sits on the branch. Sings along to the winter breeze.
A pigeon yells out and  memories burn.
She sees a yellow light, guides her to cover her eyes.
A mice runs away and seconds die.
She sees fire among the gate, but it doesn't burn.
World sends her to the cage.
She tries to love it, she does.
Fly flies above a frozen pork.
She tries to eat it, yes she does.
Na na na na, she sings all night.
Na na na na, oh yes she does.
She makes many snow balls, then breaks all of them, she smiles.
She's just a little girl, sits on the branch.
Dear sky, she just wants to play.

Minggu, 22 Juni 2014

across the road

There I sat.
Maybe I can't remember where did the postcard come from.
And then there I sat, blinded by the blinkers.
"Fly! Fly!" said my mind. Nope, that seat was so cozy—I didn't move.
My brother walked away when I was laughing.
Face down, I caught a drop of tear, but that wasn't mine.
There I sat, wondered about the world.
My parents' eyes asked me to leave,
then I got my eyes on a tree.
I got up, I caught a drop of my sweat, warm.
I got up, but I got numb, cold.
There I was standing straight,
A million diamonds and words were hanging all along the branch.
"Fly! Fly!" said my mind louder. But I can't fly.
I saw my brother's thumb and my parents' stars.
By the pieces of my courage, I crossed the road.

Senin, 01 Juli 2013

Seseorang Dengan Secarik Kertas

Pada suatu malam, setelah aku melahap seluruh hari,
aku mulai memandang bintang dan bertanya-tanya,
bagaimana wujud hari esokku?
Aku menjamah sebuah catatan yang penuh coretan berwarna dari sela-sela buku.
Itulah, di mana aku telah memulainya dari awal.
Sesabit senyum menghiasi wajahku kala warna-warni catatan itu menyapu kedua bola mataku,
dan menghujamku dengan sejuta pita kenangan.

Beberapa saat kemudian, aku mendengar ketukan di pintu kamar.
Ketukannya lembut namun tegas, pertanda sebuah keharusan untukku membukanya.
Aku melangkah mendekat dan membuka pintu.

"Sudah saatnya," kata orang itu sembari memberiku secarik kertas kosong.
Aku mengangguk padanya, berbalik dan melangkah ke meja.
Aku memungut spidol dan pensil warna, tak lupa kuas dan cat-cat.
Sejenak, pandanganku menyapu setumpuk catatan penuh warna itu.
"Tunggulah," kataku. Dan ia mengangguk sabar.

Perlahan, kutenggelamkan diriku sendiri ke dalamnya.
Ke dalam coretan warna gelap-terang di kertas-kertasnya.
Aku membolak-baliknya tanpa diguyur jenuh.
Hatiku masih berharap bahwa aku bisa melanjutkan lukisan dan coretan di sana.
Namun sudah tak ada ruang tersisa.

Aku memandang kertas kosong darinya.
Mataku sayu dan berair.
Cepat atau lambat, aku harus mengisinya.
Melukis, menuangkan berjuta warna.

Beralaskan tekad, aku menghampirinya yang sedari tadi menunggu dengan sabar.
Dengan secarik kertas dan dan alat-alat pewarnanya, aku mengaitkan tanganku padanya.
"Apa kau akan siap?"
"Aku harus."
Dan kaki kami melangkah semakin jauh.
Dengan secarik kertas, aku pergi.
Meninggalkan ribuan ukir memori.
Aku pergi, bersama seseorang dengan secarik kertas. 

Dalam senyap, kenangan menghujani

mengisi cekungan dalam hati

aku suka didongengi oleh sejuta memori.

Jumat, 28 Juni 2013

Sang Pedang Bermata Ganda

kebohongan itu bagai pedang bermata ganda.

tapi semudah itukah menghindarinya?
kadang bukan keharusan, tapi kebutuhan yang melahirkannya.
kadang tak bisa diterima, tapi hanya itulah pilihannya.

Salah? Apa yang salah?
Tapi juga tak ada kebenaran.
kosong, bimbang.

Hanya ada seutas benang.
Tapi jalannya rumit, tak sanggup lurus, tak bisa jelas.
Jika saja ada yang mampu membuka pilinan ini,
itulah pikiran sendiri.

kebohongan itu bagai pedang bermata ganda.

Disimpan, melukai diri
Diungkap, menodai segalanya.
Tak semua jalan lurus itu mulus,
tak semua jalan berkelok itu tak elok.
Namun tetaplah bukan jalan yang menentukan kita.
Tapi kitalah penentu jalan.

Pungkirilah keinginanmu,
maka sakitlah dirimu.
jika ingin berbohong akan hati, bukan siapapun yang berhak melarang.
jika jujur yang kau pilih, bukan juga siapapun yang merasakan sakit.
ambillah jalan sesukamu.
jalan yang tak membuatmu pilu.
apapun itu.

karena, kebohongan itu bagai pedang bermata ganda.

Selasa, 11 Juni 2013

Penentu Takdir

Siapa yang kau anggap penentu?
Tuhan, orang tua, atau dirimu sendiri?
Siapa yang kau kira serba tahu?
Tuhan, sahabat, atau jalan pikirmu sendiri?
Pantaskah dirimu menentukan, atau bersuara akan ketentuan?
Apa kau pikir secuil dirimu menyimpan penuntun masa akan datang?
Atakah hanya hatimu yang merasa tahu akan apa yang hendak melintang?

Diam!
Bukan pena mu yang membuat ketentuan
Bukan juga carik kusammu yang memapar misteri kehidupan
Adakah kau punya hak untuk berkata "iya" pada semua yang diragukan?
Atau "tidak" pada segala yang dinanti dan dambakan?
Bukan. Bukan milikmu.
Sama sekali bukan milikmu untuk berkata "cocok" pada dua insan
yang bahkan tak saling bertemu pandang.
Bahkan detik maha misteri turut bungkam.
Juga udara tanpa aksara hanya sekedar menerpa.
Bukan menguak maupun mengungkapnya.

Hunus saja sendiri pedang tumpul itu dari otakmu,
kalau kau merasa harus menebas semua pertanyaan itu.
Kini, bukan lagi aku yang mencari tahu.
Itu dirimu.