Selasa, 20 November 2012

Senin, 19 November 2012
Adalah hari dimana sabitku tak kunjung sirna

Sore itu, hujan turun dengan derasnya. Aku melihat ponselku, kotak masuk yang penuh pesanmu semalam. Aku suka membacanya berulang kali, walau kalimatmu benar-benar rancu.

Perjalanan ke Jambu untuk foto buku tahunan mengukir banyak kesan. Aku mendengar celotehmu dari jog depan mobil. Sumringah, tersenyum sendiri walau tak ada yang perlu ditertawakan. Tapi aku terhibur, karena itu kamu.

Menghabiskan waktu di perkebunan bersamamu dan lainnya. Menikmati sisa-sisa rintik hujan di antara ilalang-ilalang yang menjulang. Menyantap semangkuk bakso hangat di tengah dinginnya kawasan pegunungan. Aku merasa hangat, yah, karena ada kamu.

Ah, tapi tetap saja aku tak mampu merebut tatapanmu. Mungkin hanya nafasmu yang berhasil merogoh gendang telingaku yang beku dan menghangatkannya. Tak apa, berada dalam 1 halaman bersama di buku tahunan saja aku sudah bahagia.

Namun kemudian aku teringat sesuatu saat senja menyelimuti dan kami beranjak pulang. Aku teringat kalau kamu, aku, mereka, takkan bisa mengulang waktu. Kamu, aku, dan mereka pasti akan berpisah. Bahkan sebelum waktunya, mungkin, aku sudah merasakan perpisahan. Saat ini pun kita sudah berpisah. Meskipun dulu, berbincang denganmu bukanlah hal yang tak biasa. Sekarang, tempatmu bersama mereka. Yah, itu hakmu. Bukankah kau akan merasa lebih nyaman?

Aku masih tak sanggup berhenti berterima kasih. Beberapa jam mutiara sore itu, membuatku senang mengingat masa lalu..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar