Tentu kita tidak asing dengan kata "bully". Apalagi kalangan pelajar. Bagi sebagian sekolah, hal itu bukanlah hal yang tabu. Dan pelakunya selalu sama. Apakah ada kepuasan tersendiri bagi mereka menyaksikan seseorang teraniaya? Pasti, jika hal itu terus-menerus mereka lakukan. Apakah mereka pernah memikirkan perasaan para tertindas? Jelas tidak, jika hal itu terus menerus mereka lakukan. Apakah tak ada sanksi yang amat berat yang mereka terima? Tidak ada, jika hal itu terus-menerus mereka lakukan. Namun, tak pernahkah mereka membayangkan, jika saja semua berbalik? Mungkin pernah, tapi mereka yakin hal itu tak mungkin terjadi. Karena itulah, hal itu terus-menerus mereka lakukan. Mereka, adalah kalangan prioritas.
Semuanya sederhana. Karena mereka kalangan prioritas. Tak ada yang berani mengusik. Bebas melakukan apapun. Lebih punya banyak teman. Tapi ingat, semua pengikutnya mungkin hanya TAKUT pada para prioritas. Bukan SENANG bergaul dengan mereka. Dan bagi para tertindas, ya, merekalah yang masih bernaung pada jati diri. Bukan manusia yang menghirup udara dengan terpaksa. Bukan manusia yang bernaung pada jemari kepalsuan. Tapi merekalah makhluk hina bagi kalangan prioritas.
Karena tekanan yang terus menerus, para tertindas akan terbungkam rapat. Karena bibir merekah sesenti saja, riwayat tamat. Dan, sampai kapan mereka bungkam? Sampai tak ada lagi ancaman. Sampai tak ada ketakutan. Yang semuanya lahir dari kalangan prioritas. Kalangan yang dielu-elukan. Kalangan yang bisa dengan mudah mendapatkan apa yang mereka inginkan. Guru sekalipun, tak bisa sepenuhnya menindak secara objektif. Sehingga mereka merasa semua orang menuruti kemauan mereka.
Aku menulis ini, bukan karena aku adalah para tertindas. bukan juga kalangan prioritas. Tapi aku adalah manusia bodoh yang selama ini bungkam. Aku hidup namun aku bisu. Aku lebih memilih diam daripada mereka menghancurkan masa remajaku. Aku tak mau tahu akan kisah para tertindas yang selama ini sebenarnya telah terbaca. Dan kali ini, aku mengungkapkan semua yang aku saksikan, aku rasakan, dan yang ingin aku hapuskan.
Namun setelah semua yang terlihat, menghapuskan diskriminasi oleh kalangan prioritas pada para tertindas sama halnya seperti memaksa babi berhenti berkubang. Hampir mustahil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar