Jumat, 17 Agustus 2012

Chapter 3 #2

Hampir saja kami meregang nyawa. Untung seekor gurita memberi kami ide untuk menyamar di tengah-tengah hamparan terumbu karang. Aku dan Joshi naik ke pantai dengan selamat.

Aku bertanya-tanya dalam hati, jika kakap itu roh pembimbingku, mengapa ia mencoba membunuhku dan Joshi? Aku menatap sisik itu lekat-lekat. Berharap beberapa saat kemudian timbullah cahaya dan sisik itu bertransformasi menjadi permata. Namun hingga senja menjelang, tak ada perubahan sama sekali. Aku sangat frustasi sementara Joshi sibuk mengarang hipotesa.

"Sebaiknya aku buang saja benda tak berguna ini..", aku melempar sisik itu ke belakang dan menembus masuk ke hutan.
"Kodi!! Apa yang telah kau lakukan, idiot!". Joshi berlari menuju hutan sebelum aku menahannya.
"Sudahlah Joshi, kita telah salah. Dia bukan roh pembimbingku. Dia mencoba membunuh kita.."
"Aku tak mau menyelam untuk bertemu kakap untuk yang kedua kalinya, Flatmounts! Dan aku tak akan membiarkan usaha terahirku sia-sia". Seraya melepaskan genggamanku, Joshi menghambur ke hutan.

Tak lama kemudian dia berteriak seperti orang yang terkena mantra Terezsa. Namun teriakan itu diselingi tawa. Aku berlari menuju hutan. Dan kemudian mendapati Joshi berdiri di tepi danau. Danau di tengah pulau.

"Apa-apaan ini?", aku menggeleng heran.
"Ambil tangkai terataimu!", teriak Joshi bersemangat.

Aku kembali dengan tangkai teratai dan dengan sigap, Joshi memakannya. Aku mengikutinya. Kami terjun dan merasa beku. Berenang di danau yang gelap, di tengah hutan pada malam hari adalah ide buruk. Namun kami tak bisa membengkalaikan apa yang telah kami kerjakan.

Aku dan Joshi bertukar pandang seketika melihat seekor kakap merah raksasa dengan sirip menjuntai bagai gaun sutra. Kakap itu menatap ke arah kami. Dia mendekat dan kemudian menjamah telapak tanganku dengan mulutnya yang berdiameter sebesar kepala orang dewasa. Joshi mencabut belati dari sarungnya namun aku menahannya. Kakap ini ingin... Ingin memberikan permata merah. Aku dapat melihat permata itu bersinar di tengah telapak tanganku. Aku melihatnya lebih jelas daripada melihat mata biru Joshi. Kami berdua sibuk terpukau oleh apa yang baru saja kami dapat tanpa menyadari roh itu menghilang di kegelapan dasar danau.

Aku terjingkat di pagi hari saat seekor pelikan menjatuhkan kotoran tepat disamping kepalaku. Aku melihat Joshi yang tidur dengan mulut merekah. Oh sial, itu semua hanya mimpi. Kemudian aku merebahkan tubuh di atas hamparan pasir putih yang menghangat diterpa panas sang mentari. Dan Joshi pun terjingkat dari tidurnya. Seketika itu, dia berceloteh..

"Kodi, aku bermimpi kita ada di danau, berenang, melihat kakap, siripnya panjang, hampir menelan telapak tanganmu dan kau menggenggam...". Tatapan Joshi beralih ke tangan kananku yang sedari tadi mengepal tanpa kusadari. "...permata", sambungnya.

Aku meregangkan telapak tanganku perlahan. Dan.. Dan menemukan barang berharga itu. Mata kami berbinar seketika menyadari mimpi itu adalah bagian dari kenyataan.
"Ayo kita lihat danau itu"

Kami menghambur ke dalam hutan. Namun tak menemukan danau. Hanya sisik kakap yang kubuang semalam. Benar-benar ganjil.
"Huh, 'Aku tak mau menyelam untuk bertemu kakap untuk yang kedua kalinya, Flatmounts' ", ejekku.
"Diamlah, itu terjadi dalam mimpi. Tunggu, apa kau memimpikannya juga?", tanya Joshi mengernyitkan dahi.
"Ya, dan itu terasa begitu nyata". Pandanganku tak beralih dari sisik itu.
Joshi mendekat dan berjongkok disampingku. "Apapun itu, kita berhasil. Kita harus menlanjutkan perjalanan. Kegelapan tak akan mengulur-ulur waktu melahap habis rumah kita, Queryn."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar