Jumat, 17 Agustus 2012

Chapter 3

Setelah bermalam di Dubel Deer di Liba, aku dan Joshi bersiap menuju pulau tak berpenghuni, Gob. Kami pun membeli sebuah sekoci seharga 12 keping perak. Cukup murah untuk ukuran 4 orang.

Setelah hampir seperempat hari, aku dan Joshi berhasil mendirikan tenda. Kebisuan menyelimuti makan siang kami. Hanya suara desiran ombak yang sedari tadi berhasil memecah keheningan. Tanpa berpikir panjang, aku memungut tangkai teratai dari kantung gandumku. Tangkai teratai ini telah dimantrai oleh Aishe agar aku dapat bernafas saat menyelam. Sepucuk untukku, sepucuk untuk Joshi, dan kami pun berada di bawah permukaan laut.

Tak butuh waktu lama untuk menemukannya. Ini seperti halusinasi. Kami melihat kakap merah itu. Begitu besar dan anggun. Untungnya aku sadar bahwa Joshi juga melihatnya. Perlahan, kami mendekat dan kakap itu tak bereaksi sama sekali. Sebagai orang awam, aku tak bisa membaca bahasa tubuh kakap ini. Namun yang sejauh ini tertangkap adalah ia tak bertelur atau sedang hamil. Ia sama sekali tidak agresif meskipun kami berada 5 inci dari sirip kanannya. Aku dan Joshi bertukar pandang, seperti orang kikuk yang tak tahu harus berbuat apa. Namun jika makhluk ini tidak bertelur, benda apa yang dapat menjelma menjadi permata kalau bukan sisik?

Joshi menyentuh sisik besar kakap itu. Meregangkan telapak tangannya dan menyusuri lekuk insang sang raksasa Gob. Reaksi yang ditimbulkan hanyalah sirip yang berayun-ayun dengan tempo yang tak menentu. Dirasa yakin, aku mencoba mencabut sisik itu seraya memanjatkan do'a tak berkesudahan.

Dan, sisik itu terlepas. Hening, sebelum kakap itu menjelma menjadi monster brutal yang sangat agresif.. bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar